kecubung senja
berbagi apa saja, yang pasti membangun kualitas hidup
Senin, 01 November 2010
Sabtu, 30 Oktober 2010
BayangPurnama
Terperanjat aku seketika purnama meleleh di ujung jariku
Setelah sebelumnya serasa indah sinarannya menggamit sebelah sayapku
Memanduku terbang, terbang dalam angan, terbuai hayalan
Semakin dekat semakin indah
Tatapku semakin lekat dan aku semakin terjerat
Pun kudapati purnama berbingkai permata
Berkilauan berpendar-pendar
Tapi saat kucoba menyentuhnya retak pula bingkainya
Aku masih saja terpaku di situ
Saat kudapati purnama dengan angkuh
Melepaskan genggamannya
Sistem koordinasi tubuhku tak mampu menyeimbangkan posisiku
Tergelepar terjatuh aku
Jauh
Jauh
Dan kurasa lebih jauh dari awal aku menujunya
Setelah sebelumnya serasa indah sinarannya menggamit sebelah sayapku
Memanduku terbang, terbang dalam angan, terbuai hayalan
Semakin dekat semakin indah
Tatapku semakin lekat dan aku semakin terjerat
Pun kudapati purnama berbingkai permata
Berkilauan berpendar-pendar
Tapi saat kucoba menyentuhnya retak pula bingkainya
Aku masih saja terpaku di situ
Saat kudapati purnama dengan angkuh
Melepaskan genggamannya
Sistem koordinasi tubuhku tak mampu menyeimbangkan posisiku
Tergelepar terjatuh aku
Jauh
Jauh
Dan kurasa lebih jauh dari awal aku menujunya
bahagiamu dan lukaku
akulah camar yang terbang dengan sebelah sayap
bila dikata mustahil ini memang tak mungkin
tapi percayalah aku bisa
kerasnya takdir yang membuatku berada di titik nadir
adalah gelombang yang terus mensedimen hanyutan pasir
mengkotakkanku dalam laguna
terasingnya rasa asin di tengah segara
pernah kuberharap uluran pelangi
menjemputku memluk bulan
namun bias sinarnya terlanjur habis terkikis senja
dalam gulita yang memasung netra
kuraba lukisan berelief untaian janji yang pernah kau ujar
cerita-cerita yang kau utarakan
seketika kuingat kembali seuntai cinta yang pernah rebah dalam lembah penghianatan
dalam dingin yang membekukan, angin lembah berkisah
esok pagi kau gelar upacara paling sakral
membuka lembaran novel cinta sehidup semati
bersama dara titisan dewa yang dipilih sang bunda
bila kau tanya derita
maka akulah hati yang paling terluka
bahkan aku tak kuasa sekedar menguntai bait do’a
(MayaRaya jelang01082010)
bila dikata mustahil ini memang tak mungkin
tapi percayalah aku bisa
kerasnya takdir yang membuatku berada di titik nadir
adalah gelombang yang terus mensedimen hanyutan pasir
mengkotakkanku dalam laguna
terasingnya rasa asin di tengah segara
pernah kuberharap uluran pelangi
menjemputku memluk bulan
namun bias sinarnya terlanjur habis terkikis senja
dalam gulita yang memasung netra
kuraba lukisan berelief untaian janji yang pernah kau ujar
cerita-cerita yang kau utarakan
seketika kuingat kembali seuntai cinta yang pernah rebah dalam lembah penghianatan
dalam dingin yang membekukan, angin lembah berkisah
esok pagi kau gelar upacara paling sakral
membuka lembaran novel cinta sehidup semati
bersama dara titisan dewa yang dipilih sang bunda
bila kau tanya derita
maka akulah hati yang paling terluka
bahkan aku tak kuasa sekedar menguntai bait do’a
(MayaRaya jelang01082010)
kutunggu
Terpaku dalam hening yang bisu
Jauh mata menerawang lepas melangit luas
Kudapati bulan bergegas mejauh dari tempatku melepas pandang
Namun masih sempat ia melambaikan selengkung sapa
Berjanji ia akan segera kembali sepekan lagi
Dengan “nur” selaksa bias warna
Kujabat erat lambaiannya
Berdesir rindu dalam nandiku
Kukata bahwa aku menunggu
Dengan segelar asa dan sebukit mimpi
Semoga kujumpa lagi cahyamu yang suci
kan kuukir di dinding hati
dengan tatah keikhlasan
dalam ritme indah peribadatan
Jauh mata menerawang lepas melangit luas
Kudapati bulan bergegas mejauh dari tempatku melepas pandang
Namun masih sempat ia melambaikan selengkung sapa
Berjanji ia akan segera kembali sepekan lagi
Dengan “nur” selaksa bias warna
Kujabat erat lambaiannya
Berdesir rindu dalam nandiku
Kukata bahwa aku menunggu
Dengan segelar asa dan sebukit mimpi
Semoga kujumpa lagi cahyamu yang suci
kan kuukir di dinding hati
dengan tatah keikhlasan
dalam ritme indah peribadatan
Bingkai kenangan
Masih saja di sini menikmati tingkah udara yang memainkan debu-debu dan dedaunan
kembali mengisahkan masa yang luruh dari genggaman
kembali ia episode demi episode
meski hanya dalam potongan kenangan
tapi sungguh ia membangkitkannya dalam nyata pada lembaran-lembaran ingatan
selengkung senyum terbit dari sudut pipi
ada getar kerinduan yang begitu ingin terperikan
lalu senyum itu bercampur isak tangis bersedu sedan
Seketika tertunduk sukma dalam syukur panjang
Mencipta kesyahduan
kembali mengisahkan masa yang luruh dari genggaman
kembali ia episode demi episode
meski hanya dalam potongan kenangan
tapi sungguh ia membangkitkannya dalam nyata pada lembaran-lembaran ingatan
selengkung senyum terbit dari sudut pipi
ada getar kerinduan yang begitu ingin terperikan
lalu senyum itu bercampur isak tangis bersedu sedan
Seketika tertunduk sukma dalam syukur panjang
Mencipta kesyahduan
Hilang mimpiku di lorong waktu
Lama aku berdiri di tebing lamunan
Melepas pandang selepas tak terbatas
Sekelebat camar terbang bebas, menyajikan segaris panorama dalam nuansa temaram
Masih saja aku tak bergeming
Meski sesekali angin membadai
Pandangku tak henti mencari
Namun ia tak tau pasti hakikat apa yang dicari
Ada segenggam mimpi berderai pada hamparan ilalang hitam yang membentang dihadapanku
Ingin dan sangat ingin ku pungut satu per satu
Lalu kuuntai lagi dan ku gantungkan di langit-langit malamku
Jemariku bergetar hebat
Butir-butir peluh terjatuh
Mengikis ceceran mimpi yang belum sempat ku sentuh
Lunglai menjalar di seluruh tubuh
Lalu dengan lembut sepoi angin membelai
Seolah ingin mengikis habis kecemasanku
Kembali kakiku berpijak tagap
Meski gemetar masih jua menjalar
Ada sebisik rayu mengajakku meninggalkan lamunanku
Tapi bagaimana bisa aku pergi
Sementara aku masih dalam ketidaktahuanku
Dan mimpi-mimpi itu telah terkikis di lorong waktu
Melepas pandang selepas tak terbatas
Sekelebat camar terbang bebas, menyajikan segaris panorama dalam nuansa temaram
Masih saja aku tak bergeming
Meski sesekali angin membadai
Pandangku tak henti mencari
Namun ia tak tau pasti hakikat apa yang dicari
Ada segenggam mimpi berderai pada hamparan ilalang hitam yang membentang dihadapanku
Ingin dan sangat ingin ku pungut satu per satu
Lalu kuuntai lagi dan ku gantungkan di langit-langit malamku
Jemariku bergetar hebat
Butir-butir peluh terjatuh
Mengikis ceceran mimpi yang belum sempat ku sentuh
Lunglai menjalar di seluruh tubuh
Lalu dengan lembut sepoi angin membelai
Seolah ingin mengikis habis kecemasanku
Kembali kakiku berpijak tagap
Meski gemetar masih jua menjalar
Ada sebisik rayu mengajakku meninggalkan lamunanku
Tapi bagaimana bisa aku pergi
Sementara aku masih dalam ketidaktahuanku
Dan mimpi-mimpi itu telah terkikis di lorong waktu
Langganan:
Postingan (Atom)