Sabtu, 30 Oktober 2010

BayangPurnama

Terperanjat aku seketika purnama meleleh di ujung jariku
Setelah sebelumnya serasa indah sinarannya menggamit sebelah sayapku
Memanduku terbang, terbang dalam angan, terbuai hayalan
Semakin dekat semakin indah
Tatapku semakin lekat dan aku semakin terjerat
Pun kudapati purnama berbingkai permata
Berkilauan berpendar-pendar
Tapi saat kucoba menyentuhnya retak pula bingkainya

Aku masih saja terpaku di situ
Saat kudapati purnama dengan angkuh
Melepaskan genggamannya

Sistem koordinasi tubuhku tak mampu menyeimbangkan posisiku
Tergelepar terjatuh aku
Jauh
Jauh
Dan kurasa lebih jauh dari awal aku menujunya

bahagiamu dan lukaku

akulah camar yang terbang dengan sebelah sayap
bila dikata mustahil ini memang tak mungkin
tapi percayalah aku bisa

kerasnya takdir yang membuatku berada di titik nadir
adalah gelombang yang terus mensedimen hanyutan pasir
mengkotakkanku dalam laguna
terasingnya rasa asin di tengah segara

pernah kuberharap uluran pelangi
menjemputku memluk bulan
namun bias sinarnya terlanjur habis terkikis senja

dalam gulita yang memasung netra
kuraba lukisan berelief untaian janji yang pernah kau ujar
cerita-cerita yang kau utarakan
seketika kuingat kembali seuntai cinta yang pernah rebah dalam lembah penghianatan

dalam dingin yang membekukan, angin lembah berkisah
esok pagi kau gelar upacara paling sakral
membuka lembaran novel cinta sehidup semati
bersama dara titisan dewa yang dipilih sang bunda

bila kau tanya derita
maka akulah hati yang paling terluka
bahkan aku tak kuasa sekedar menguntai bait do’a
(MayaRaya jelang01082010)

kutunggu

Terpaku dalam hening yang bisu
Jauh mata menerawang lepas melangit luas
Kudapati bulan bergegas mejauh dari tempatku melepas pandang
Namun masih sempat ia melambaikan selengkung sapa
Berjanji ia akan segera kembali sepekan lagi
Dengan “nur” selaksa bias warna

Kujabat erat lambaiannya
Berdesir rindu dalam nandiku
Kukata bahwa aku menunggu
Dengan segelar asa dan sebukit mimpi
Semoga kujumpa lagi cahyamu yang suci
kan kuukir di dinding hati
dengan tatah keikhlasan
dalam ritme indah peribadatan

Bingkai kenangan

Masih saja di sini menikmati tingkah udara yang memainkan debu-debu dan dedaunan

kembali mengisahkan masa yang luruh dari genggaman

kembali ia episode demi episode

meski hanya dalam potongan kenangan

tapi sungguh ia membangkitkannya dalam nyata pada lembaran-lembaran ingatan

selengkung senyum terbit dari sudut pipi

ada getar kerinduan yang begitu ingin terperikan

lalu senyum itu bercampur isak tangis bersedu sedan

Seketika tertunduk sukma dalam syukur panjang

Mencipta kesyahduan



Hilang mimpiku di lorong waktu

Lama aku berdiri di tebing lamunan

Melepas pandang selepas tak terbatas

Sekelebat camar terbang bebas, menyajikan segaris panorama dalam nuansa temaram

Masih saja aku tak bergeming

Meski sesekali angin membadai

Pandangku tak henti mencari

Namun ia tak tau pasti hakikat apa yang dicari



Ada segenggam mimpi berderai pada hamparan ilalang hitam yang membentang dihadapanku

Ingin dan sangat ingin ku pungut satu per satu

Lalu kuuntai lagi dan ku gantungkan di langit-langit malamku

Jemariku bergetar hebat

Butir-butir peluh terjatuh

Mengikis ceceran mimpi yang belum sempat ku sentuh

Lunglai menjalar di seluruh tubuh



Lalu dengan lembut sepoi angin membelai

Seolah ingin mengikis habis kecemasanku

Kembali kakiku berpijak tagap

Meski gemetar masih jua menjalar



Ada sebisik rayu mengajakku meninggalkan lamunanku

Tapi bagaimana bisa aku pergi

Sementara aku masih dalam ketidaktahuanku

Dan mimpi-mimpi itu telah terkikis di lorong waktu